Apakah Kita Juga Pahlawan?
Menyebut kata
“Pahlawan” maka yang terbayangkan adalah para pejuang yang telah gugur membela
kemerdekaan negeri ini. Kata Pahlawan bahkan identik dengan tentara dan
peperangan. Padahal, apakah hanya tentara yang berhak disebut pahlawan?
Apakah hanya mereka yang memanggul
senjata di medan perang yang layak menjadi pahlawan? Lantas, siapakah yang
disebut pahlawan? Tindakan seperti apakah yang disebut heroik? Siapakah yang
berhak menyematkan gelar pahlawan?
Di Jakarta ada monumen
yang terkenal dengan sebutan “Patung atau Tugu Tani” yang berada di Taman
Segitiga Menteng, Jakarta Pusat. Patung perunggu ini adalah karya dua pematung
kenamaan Rusia yang menggambarkan
seorang anak laki-laki yang siap berangkat ke medan perang memakai topi caping
menyandang senapan dan di sampingnya seorang wanita (ibunya) yang sedang
mengantarkannya berangkat menuju ke medan perang dengan membekalinya sepiring
nasi untuk mendorong semangat dan keberanian perjuangan anaknya.
Pada tahun 1963
Presiden Soekarno meresmikan patung tersebut dan terdapat sebuah plakat yang
menempel di bawah patung yang berbunyi “HANJA BANGSA JANG MENGHARGAI PAHLAWAN
PAHLAWANNJA DAPAT MENJADI BANGSA JANG BESAR”. Dengan kata lain, bahwa apa yang sering
disebut sebagai Tugu Tani itu sesungguhnya adalah Patung Pahlawan. Bahwa petani
adalah juga pahlawan bagi negerinya. Pahlawan bukan hanya tentara yang berjuang
di medan perang, melainkan juga di tengah sawah. Asal tahu, Presiden Soekarno
memberi nama resmi patung tersebut Patung Pahlawan bukan Patung Tugu Tani atau Monumen
Tani.
Dan profesi Guru,
bukankah sering disebut sebagai Pahlawan Tanpa Tanda Jasa? Sebutan itu sebuah
sindiran ketika sekian tahun yang lalu profesi guru di negeri ini kurang begitu
dihargai oleh pemerintah. Syukurlah belakangan nasib guru sudah menjadi lebih
baik ketimbang sebelumnya. Tetapi dengan atau tanpa tanda jasa, sebutan itu
sudah menegaskan bahwa profesi Guru adalah juga Pahlawan. Guru adalah pahlawan
yang berjuang di medan pendidikan untuk mencerdaskan anak-anak bangsa.
Demikian pula pernah
ada sebutan untuk Tenaga Kerja Indonesia (TKI) atau Tenaga Kerja Wanita (TKW)
sebagai Pahlawan Devisa. Sebutan ini juga sebuah sindiran bahwa meski mereka
bekerja di luar negeri kebanyakan sebagai pembantu rumahtangga namun sudah
membuktikan sebagai pihak yang sangat banyak menyumbang devisa bagi negeri ini.
Padahal banyaknya TKI atau TKW itu sekaligus menunjukkan bahwa pemerintah tidak
mampu memberikan lapangan kerja yang memadai sehingga menjadikan mereka mengais
rejeki di luar negeri.
Mereka yang menjadi
juara dalam pertandingan atau perlombaan olahraga di luar negeri adalah juga
para pahlawan negeri ini. Karena kemenangan merekalah maka dikumandangkan lagu
kebangsaan Indonesia Raya dengan khidmat. Demikian pula mereka yang menjadi
juara olimpiade ilmu pengetahuan di mancanegara sehingga nama Indonesia menjadi
berkibar dan dikenal di dunia internasional.
Namun demikian,
menjadi Pahlawan tidak harus berhadapan dengan negeri lain. Pahlawan adalah
siapa saja yang telah berjuang mengorbankan waktu, jiwa dan raganya demi
kebaikan orang banyak. Bahkan, seorang laki-laki yang membanting tulang untuk
memenuhi hajat hidup anak isterinya adalah juga layak disebut Pahlawan
Keluarga. Apalagi, bila yang berjuang itu seorang Ibu Rumahtangga. Betapa
profesi menjadi Petugas Pemadam Kebakaran adalah sebuah pekerjaan mulia di
negara-negara Barat. Mereka adalah pahlawan yang dibanggakan tanpa harus ada
peperangan.
Apakah Kita juga Pahlawan? Karena
sebaik-baiknya manusia adalah yang sanggup memberikan manfaat bagi orang
banyak. Kita bisa berbuat apa saja sesuai dengan kemampuan kita sendiri untuk
memberikan manfaat bagi sesama, bagi bangsa dan negara. Segera mempertanyakan
kemata hati kita, singsingkan lengan baju, langkahkan kaki, bergerak dengan
niat yang mulia. Tunggu apa lagi.... (*)